Jumat, 03 Agustus 2012


    1. Mikotoksin
      1.1. Definisi Mikotoksin
Winarno (1984) menyatakan mikotoksin merupakan senyawa beracun yang diproduksi oleh kapang(mold) atau jamur.
           Mikotoksin adalah metabolit sekunder yang dihasilkan oleh beberapa galur cendawan tertentu yang dapat menimbulkan gangguan kesehatan atau kematian dan mempunyai pengaruh biologis terhadap makhluk hidup lain terutama hewan atau manusia. Gejala penyakit yang di timbulkan oleh mikotoksin disebut mikotoksikosis (bullerman, 1978 dalam Dimiyanti, 2010).
Intoksikasi atau mikotoksikosis yaitu mengkonsumsi makanan yang telah dicemari oleh mikotoksin. Gangguan kesehatan oleh mikotoksin tidaka bersifat infeksi dan juga tidak menular (Syarief, 2003).
Berbeda dengan toksin yang dihasilkan oleh bakteri, mikotoksin kadang-kadang tidak menimbulkan gejala yang bersifat akut, tetapi berupa kelainan yang timbul akibat akumulasi mikotoksin yang terkonsumsi secara berulang-ulang pada waktu tertentu . Berbagai jenis mikotoksin lain yang sering terdapat pada bahan makanan dapat dilihat pada tabel 9.
Tabel 9. Mikotoksin yang sering terdapat pada bahan makanan.
Toksin
Kapang
Bahan makanan yang terkena
Akibat yang ditimbulkan



Aflatoksin
Aspergillus sp
A falvus
A parasiticus
Kacang tanah, minyak yang berasal dari biji-bijian dan biji-bijian.
Keracunan hati, kanker pada beberapa jenis hewan (kemungkinan pada manusia).
Sterigmatosistin
A nidulans
Serealia
Racun dan kanker pada tikus.
Okratoksin
A versicolor
A niger





Serealia, kopi hijau
Racun pada ginjal tikus.
Luteoskirin
Penicillium sp
P islandicum
Beras
Racun, mungkin karsinogen pada hati tikus.
Patulin
P articae
P claviformi
Apel dan produk olahannya.
Pembengkakan, racun pada ginjal tikus.
Zaeralenon
Alimentary toksik
Fusarium sp
Gibberellazeae
F poea,
Jagung
Jawawut, serealia
Hyperestrogenism pada babi dan hewan percobaan.
Aleukia (ATA)
F sporotrichioides


Panleukocytopenia karena kerusakan sumsum tulang, kematian lebih dari 60 % pada manusia (epidemik)
12,13-epoxy
Tricothecanys
Fusarium spp;
Trichoderma spp;
Gliocladium spp;
Tricothecium spp;
Jagung, serealia
Cardiovaskular
Collapse, penggumpalan cepat (mungkin sehubungan dengan adanya ATA pada manusia)
Sumber: Winarno, Pangan dan Gizi.
Dari beberapa penelitian diketahui bahwa mikotokdin menyebebkan gejala mikotoksikosis. Selain itu juga diketahui keberadaan mikotoksin dalam bahan pangan atau pakan dalam jumlah yang sangat sedikit sangat sulit untuk dideteksi. Penelitian mengenai mikotoksin ini berkembang dengan ditemukan nya aflatoksin, yaitu suatu kelompok senyawa dengan susunan yang mirip satu sama lain dan dihasilkan oleh beberapa strain (galur) Aspergillus flavus (anonim, 1994).
         Iklim tropis mengakibatkan komoditas pangan di Indonesia rentan terhadap kontaminasi kapang dan toksin metabolitnya, seperti aflatoksin, metabolit sekunder dari Aspergillus sp. Aflatoksin dapat mencemari kacang tanah, jagung, dan hasil olahannya, serta pakan ternak. Hewan ternak yang mengonsumsi pakan tercemar aflatoksin akan meninggalkan residu aflatoksin dan metabolitnya pada produk ternak seperti daging, telur, dan susu. Hal tersebut menjadi salah satu sumber paparan aflatoksin pada manusia. Aflatoksin dapat mengakibatkan penyakit dalam jangka pendek (akut), maupun jangka panjang (kronis). Namun, keracunan akut jarang terjadi sehingga tingkat kewaspadaan masyarakat terhadap pencemaran aflatoksin pada pangan dan pakan relatif rendah.
Asfergillus flavus merupakan kapang saprofit. Koloni yang sudah menghasilkan spora berwarna cokelat kehijauan hingga kehitaman. Miselium yang semula berwarna putih sudah tidak tampak lagi (dwidjoseputro, 1981). Selain oleh A.flavus, biji kacang tanah sering terkontaminasi pula oleh A.niger dan penicillium sp. Varietas lokal dan varietas unggul lama seperti macan peka terhadap A.flavus dan jamur lain nya.
   1.2. Aspek keselamatan dan Keamanan Kerja di Laboratorium Pengujian Mikotoksin
Mikotoksin harus ditangani sebagaimana penanganan bahan atau zat yang sangat beracun. Pada saat menangani mikotoksin, diusahakan dilakukan dalam ruang asam yang dilengkapi dengan exhaust fan. Apabila menangani mikotoksin dalam bentuk serbuk kering, maka diperlukan glope box untuk menghindari tersebarnya mikotoksin diarea kerja. Apabila terjadi tumpahan larutan yang mengandung mikotoksin, maka area yang terkena mikotoksin harus dinetralkan menggunakan larutan NaOCl 1%. Setelah itu, dibiarkan selama 10 menit, kemudian dibilas menggunakan 5% aseton air.
Semua peralatan gelas yang telah digunakan untuk menangani aflatoksin, harus direndam methanol yang mengandung 1% larutan NaOCl. Setelah 2 jam ditambahkan aseton hingga konsentrasinya 5% dari volume total. Biarkan selama 30 menit, setelah itu dicuci seperyi biasa. Analis yang menganalisis mikotoksin harus mrnggunakan alat pelindung diri seperti jas laboratorium, sepatu lab, dan menggunakan sarung tangan karet selama kontak dengan bahan yang mengandung mikotoksin. Harus dipastikan bahwa analis tersebut telah memahami prosedur pengujian serta memahami arti dari lambang keselamatan kerja pada label bahan kimia yang digunakan untuk analisis. Masker pelindung juga diperlukan selama ekstraksi dan spooting untuk menghindari paparan dari solvent organik yang digunakan.
      Pelarut (solvent) organik yang digunakan untuk ekstraksi maupun clean up bersifat mudah menguap dan sangat mudah terbakar. Pelarut organik tersebut mempunyai banyak kemungkinan bahaya kebakaran, karena zat-zat tesebut dapat menghasilkan uap yang alam perbandingan tertentu dengan udara dapat terbakar oleh adanya api terbuka atau loncatan listrik. Oleh karena itu. Tutuplah botol solvent dengan rapat apabila tidak digunakan, hindari penggunaan solvent organik berdekatan dengan alat alat yang menggunakan api seerti bunsen maupun alat pemanas seperti oven dan furnace. Pengalaman menunjukan bahwa uap pelarut organik dapt berdifusi sejauh 3 meter menuju titik api atau seolah-olah kita melihat api dapat menyambar pelarut organik pada jarak tersebut. Pelarut organik juga dapat terbakar pada suhu tertentu dengan sendirinya (auto-ignition), meskipun tidak ada sumber nyala api.
          Sebelum meninggalkan laboratorium penguijian mikotoksin, semua analis harus mencuci tangan nya dengan bersih dan meninggalkan jas laboratorium nya. Tidak diperbolehkan makan dan minum maupun menyimpan makanan dan minuman dilaboratorium pengujian mikotoksin.
1.3. Jaminan Mutu 
1.3.1. Pengujian umum (ISO/ IEC17025)
      Sesuai dengan klausul 5.9 dalam SNI 17025-2005, laboratorium harus mempunyai prosedur pengendalian mutu untuk memantau keabsahan pengujian yang dilakukan. Data yang dihasilakan harus direkam sedemikain rupa sehingga semua kecenderungan dapat di deteksi dan bila memungkinkan teknik statisktik harus diterapkan pada pengkajian hasil. Pemantauan tersebut harus di rencanakan dan dikaji serta mencakup tapi tidak terbatas pada hal-hal berikut:
  1. Keteraturan penggunaan bahan acuan bersertifikat dan atau pengendalian mutu internal mengguanakan bahan acuan sekunder;
  2. Partisifasi dalam uji banding antar laboratorium;
  3. Replika pengujian menggunakan metode yang sama atau berbeda;
  4. Pengujian ulang atas barang yang masih ada;
Data pengendalian mutu harus di analisis dan bila ditemukan berada diluar kriteria tindakan yang telah di tentukan sebelummnya, tindakan tertentu harus dilakukan untuk mengoreksi permasalahan dan mencegah pelaporan hasil yang salah.
Jaminan Mutu dan Pengendalian Mutu Pengujian Mikotoksin
  1. Jaminan Mutu
Untuk menjamin mutu hasil pengujian aflatoksin, hal-hal berikut ini harus mendapat perhatian:
  1. Sample uji maupun sample cadangan (retain sample) disimpan pada freezer (temperatut dibawah 00 C) ;
  2. Pada proses ekstraksi menggunakan bahan kimia p.a ;
  3. Alat gelas yang digunakan bebas kontaminasi ;
  4. Pengujian mikotoksin dilakukan oleh analis yang kompeten ;
  5. Dilakukan uji konfirmasi aflatoksin ;
  1. Pengendalian Mutu
Pengendalian mutu pengujian dapat dilakukan dengan penyertaan pengujian reference material bersama dengan sample pengujian. Apabila hasil pengujian mendekati nilai besarnya, maka hal ini menunjukan bahwa pengujian sample yang dilakukan sesuai prosedur. Definisi umum dari Reference Materil adalah suatu bahan yang cukup homogen dan memiliki nilai yang dapat di percaya dan dipertanggungjawabkan, sehhingga dapat digunakan untuk :
  1. Memverifikasi metode pengujian
  2. Menguji kompetensi analis
  3. Memvalidasi metode pengujian
  4. Mengkalibrasi peralatan
  1. Penggunaan Bahan Acuan 
    Bahan acuan adalah suatu bahan yang satu atau lebih sifat-sifatnya telah diketahui dengan prosedur teknis tertentu. Sample bahan acuan adalah Certified Reference Material (CRM) dan Stadarized Reference Material (SRM). CRM merupakan bahan acuan yang satu atau lebih dari sifat-sifatnya diberi sertifikat dengan prosedur teknis yang telah baku, dan dapat ditelusuri ke suatu sertifikat atau dokumen lain yang di terbitkan oleh badan sertifikasi yang di akui secara luas di seluruh dunia. Sedangkan SRM merupakan bahan acuan yang nilai benarnya di peroleh melalui uji profisiensi.
Mengingat SRM dan CRM relatif sukar diperoleh, maka umumnya pengujian SRM/CRM hanya dilakukan pada saat laboratorium menyiapakan dan menetapkan nilai analit pada In House Reference Material (IRM) maupun Control Sample.

  1. Penggunaan IRM/ Control Sample
  1. Pengujian
Setiap kali melakukan pengujian atau analisis sample rutin, harus disertai dengan pengujian control sample sebanyak dua ulangan. Diupayakan agar control sample mempunyai matriks dan tingkat konsentrasi yang setara dengan sample rutin yang diuji. Pengujian control sample dilakukan bersamaan dengan Working Sample pada satu Batch pengujian yang sama.

  1. Keberterimaan Hasil Pengujian Control Sample
Hitunglah nilai rata-rata dari Standar Deviasi pengujian Control Sample. Kemudian plotkan hasil pengujian Control Sample pada grafik pengwasan mutu/ Control Chart sebagai mana tersaji pada gambar 5. Apabila hasil pengujian control sample terletak pada daerah ≥ X+2 SD atau ≤ X - SD, maka hasil pengujian Working Sample dan Control Sample harus diulang setelah dilakukan kajian mencari penyebab kesalahan analisis.

X + 2 SD
X + SD
X adalah nilai benar
X – 2 SD
X - SD

Gambar 7. Garfik pengawasan mutu (Control Chart)

Catatan :
  • Apabila nilai yang diperoleh dari pengujian bahan acuan berada diluar batas yang diizinkan, berarti telah terjadi ketidakbenaran atau kesalahan dalam pengujian yang dapat berasal dari alat atau pelaksansa.
  • Apabila terjadi kasus seperti yang diatas harus dicari sumber kesalahan tersebut dan dilakukan perbaikan.
  1. pengujian Spike Sample
Pada kondisi laboratorium tidak memiliki kondisi reference material, maka pengujian spike sample dapat dilakukan untuk pengendalian mutu internal. Spike sample dibuat dengan cara menambahkan larutan standar analit yang diketahui jumlah dan konsentrasinya kedalam jumlah sample tertentu. Dilakukan pengujian secara bersamaan dengan metode pengujian yang sama terhadap:
  • Sample tanpa penambahan larutan standar.
  • Sample dengan penambahan larutan standar.
Dilakukan perhitungan terhadap:
  • Kandungan analit pada sample tanpa penambahan larutan standar (A).
  • Kandungan analit pada sample dengan penambahan larutan standar (B).
  • Kandungan analit yang ditambahkan pada sample (C).
Nilai temu balik (recovery) diperoleh dari persamaan berikut:
% Recovery =
Nilai recovery diizinkan antara 90 % sd 110 %. Jika hasil pengujian spike sample berada diluar kriteria, maka pengujian sample harus diulangi.
  1. Pengujian dengan Peflikasi
Pada kondisi pengujian sample tidak memungkinkan untuk disertai dengan pengujian reference material maupun spike sample, maka laboratorium harus melakukan reflikasi pengujian pada sample tertentu disetiap Batch Pengujian. Reflikasi pengujian yang dilakukan setidaknya duplo dan persyaratan keberterimaan nilai % RSD reflikasi pengujian ditentukan berdasarkan tabel 10.
% RSD =




Tabel 10. Nilai RSD Maksimun Yang Direkomendasikan untuk Repeatability pada kandungan Analit yang Berbeda.
Konsentrasi Analit
RSD (%)
100 g/kg
2
10 g/kg
3
1 g/kg
4
100 mg/kg
5
10 mg/kg
7
1 mg/kg
11
100 µg/kg
15
10 µg/kg
21
1 µg/kg
30
0,1 µg/kg
43
Sumber : Roger Wood, anders Nilsson, dan Harriet Wallin, 1998 dalam Dimiyanti,2010.

      1. Metodologi Untuk Analisa Mikotoksin
Prosedur analisis kimia untuk mikotoksin, termasuk aflatoksin, didasarkan pada sifat perpedaran ketika disinari lampu UV. Ini memungkinkan untuk mendeteksi dan menduga jumlah mikotoksin yang terdapat dalam sample.
Semua prosedur analisis mikotoksin terdiri atas tahap-tahap sebagaimana disajikan pada gambar 8 .





Sampling dan persiapan sample.
Clean up: deffating.

Ekstraksi

Estimasi

Konfirmasi







Gambar 8. Tahapan dalam analisis mikotoksin
  1. Sampling
Sampling merupakan tahap yang paling penting dalam analisis mikotoksin. Karena distribusi mikotoksin tidak merata, maka sample yang dianalisis harus dapat mewakili keseluruhan bahan.
  1. Clean Up
Ekstraksi toksin selalu disertai dengan terbawanya komponen lemak, pigmen dan interferens lain yang dapat berpendar pada saat disinari sinar UV. Oleh karena itu, diperlukan proses (clean up) untuk meminimalkan gangguan seperti defatting. Defatting adalah proses yang bertujuan untuk menghilangkan lemak dari ekstrak contoh menggunakan pelarut lemak seperti n-hexan dan petroleum eter.
  1. Deteksi dan Estimasi
Umumnya metode KLT banyak digunakan untuk mendeteksi dan menduga konsentrasi mikotoksin. Untuk hasil yang lebih teliti digunaka metode HPLC, meskipun membutuhkan biaya yang lebih banyak.

    1. Definisi Aflatoksin
Winarno (1984:236) menyatakan aflatoksin adalah senyawa beracun yang diproduksi oleh aspergillus flavus, atau oleh jenis aspergillus lain misalnya aspergillus parasiticus. Aflatoksin dapat digolongkan menjadi aflatoksin B (fluoresens biru) dan aflatoksin G (f luoresens Hijau) serta turunan-turunannya. Jenis-jenis aflatoksin yang telah dikenal dan berhasil diisolasi adalah aflatoksin B1, B2, G1, G2, M1, M2, GM1, B2a, R0, B3, 1-OCH3B2, dan 1-CH3G2,
Aflatoksin B1 keberadaannya dominan dan bersifat paling toksik. Batas maksimum kandungan aflatoksin B1 dan aflatoksin total pada produk olahan jagung dan kacang tanah adalah masing-masing 20 dan 35 ppb (Keputusan Kepala Badan POM RI No. HK.00.05.1.1405, tahun 2004). (Okky)
Aflatoksin adalah suatu senyawa beracun yang bersifat mutagenik dan karsinogenik yang dihasilkan oleh galur aspergillus flavus atau jenis aspergillus lain misalnya aspergillus parasiticus (Rodriguez dan Mahoney, 1994).
Aflatoksin adalah senyawa racun yang dihasilkan oleh metobolit sekunder kapang aspergillus flavus dan aspergillus parasiticus. Kapang ini biasanya ditemukan pada bahan pangan atau pakan yang mengalami proses pelapukan. Pertumbuhan aflatoksin dipacu oleh kondisi lingkungan dan iklim, seperti kelembapan, suhu, dan curah hujan yang tinggi.Kondisi seperti itu biasanya ditemukan dinegara tropis seperti Indonesia.
Pengetahuan tentang aflatoksin ini pertama kali di Inggris pada tahun 1960, dimana terjadi suatu wabah yang menyerang kalkun-kalkun di Inggris. Penyakit tersebut dikenal dengan nama Turkey X, karena pada saat itu belum diketahui penyebabnya. Gejala yang ditimbulkan pada kalkun yang terserang penyakit tersebut ditandai dengan hilangnya nafsu makan, melemahnya sayap-sayap dan hanya beberapa hari saja dapat mengakibatkan kematian. Dari pemeriksaan yang dilakukan terhadap kalkun yang mati, ditemukan adanya kerusakan pada ginjal dan pendarahan pada hati (Goldblatt, 1969).
Hal ini mendorong para ahli penyakit hewan untuk mengetahui penyebab penyakit Turkey X. Pada tahun 1961, penyebab penyakit tersebut telah ditemukan yaitu adanya toksin yang dihasilkan oleh Aspergillus flavus pada bungkil kacang tanah yang dipakai sebagai ransum makanan. Toksin tersebut dikenal dengan nama aflatoksin dan merupakan salah satu jenis mikotoksin yang dapat menyebabkan timbulnya kanker hati dan kematian karena kerusakan hati akut (Betina, 1984). Jenis aflatoksin yang utama pada bahan pangan adalah B1, B2, G1 dan G2. Dari berbagai jenis aflatoksin tersebut, aflatoksin B1 merupakan jenis yang paling beracun terhadap jenis ternak, terutama kalkun dan bersifat karsinogenik pada hati.
      1. Klasifikasi Aflatoksin
Aflatoksin diberi nama sesuai dengan penampakan fluoresensnya pada lempeng kromatografi dengan silica gell yang disinari UV. Apabila penampakan fluresensnya biru maka diberi kode B (Blue), sedangkan bila hijau diberi kode G (Green) (Diener dan davis, 1969 dalam Tutu Romdoni 2004). Dari sifat ini dapat digunakan untuk menentukan aflatoksin secara kualitatif dan kuantitatif. Kedua jenis aflatoksin dibagi menjadi 4 macam yaitu B1, B2, G1, G2.
Berdasarkan strukturnya, aflatoksin merupakan senyawa kimia yang berupa sebuah gugus heterosiklik, suatu jenis mikotoksin (Toksin dari kapang) yang mengandung oksigen dan memiliki cincin bisdifuranno (Pelezar, 1998). Berdasarkan struktur kimianya aflatoksin dapat dibagi menjadi dua bagian, yaitu seri difurokumarosiklopentanon (B1, B2, B2a, M1, M4, M2a) aflatoksikol (R0 dan seri difurokumarolakton (G1, G2, G3, GM1, GM2a, dan B3). Struktur aflatoksin dirumuskan berdasarkan hasil interprestasi sinar UV, inframerah, NMR, dan spektra mass
(Goldblatt, 1969).

      1. Biosintesis Aflatoksin
Penelitian yang mempelajari mengenai elusidasi biosintesis aflatoksin telah banyak dilaporkan secara luas (Turner and Aldridge, 1983). Biosintesis aflatoksin bermula dari dekaketida yang berasal dari asam asetat, selanjutnya melalui polihidroksiantraquinon. Hal ini dapat ditunjukan melalui penggabungan studi tentang penandaan prekusor-prekusor dan melalui penggunaan mutants blocked

dalam berbagai langkah dari biosintesis aflatoksin. Gambar biosintesis aflatoksin sederhana dapat digambarkan sebagai berikut :























Gambar 9. Jalur Biosintesis Aflatoksin B1 [Turner dan Aldridge, (1983) dalam Fauzia (2011)].

Panah-panah pada Gambar 9 menunjukan beberapa tahap biosintesis yang dimulai dari asetat melalui suatu dekaketida, secara berturut-turut membentuk asam norsolorinik averantin averufin versikonal asetat versikolorin A dan sterigmatosystin yang kemudian membentuk aflatoksin B1.

      1. Sifat Fisika dan Kimia Aflatoksin
Sampai saat ini telah banyak jenis aflatoksin yang dapat diisolasi. Namun demikian hanya empat jenis aflatoksin yang sering diteliti karena keberadaan dan toksisitasnya. Keempat aflatoksin itu adalah B1, B2, G1, dan G2 .
Senyawa- senyawa tersebut mempunyai struktur yang mirip satu sama lain, dan masing-masing diberi nama sesuai dengan karakteristik fluoresensinya pada lempeng KLT, yaitu : Biru kehijauan (B-Blue) untuk aflatoksin B1 dan B2, serta hijau kekuningan (G-Green) untuk aflatoksin G1 dan G2.
Berdasrakan struktur kimianya, aflatoksin dibagi menjadi dua yaitu difurokumarosiklopentenon (B1 dan B2) dan difurokumarolakton (G1 dan G2) (Betina, 1989). Sifat fisik dan kimia aflatoksin dapat dilihat pada tabel 12, sedangkan struktur kimianya dapat dilihat pada gambar 9.
Sifat toksisitas aflatoksin utama pada penemuan sebelumnya adalah B1 > B2> G1>G2. Beberapa jenis bentuk dari aflatoksin dapat dilihat pada tabel 11.
Tabel 11. Beberapa Sifat Fisika dan Kimia Aflatoksin

Jenis
Aflatoksin
Rumus
Molekul
Bobot
Molekul
Titik leleh
(0C)
Warna kristal
B1
C17H12O6
312
267
Kuning pucat
B2
C17H14O6
314
303-306
Putih
G1
C17H12O7
328
257-259
Tidak berwarna
G2
C17H14O7
330
237-240
Tidak berwarna
Sumber : Heatchot, 1984 dalam Fauzia , 2011.






Gambar 10. Struktur Kimia Aflatoksin B1,B2,G1,dan G2 (Syarief, 1983)

      1. Daya Racun
Tingakat daya meracuni (Toksisitas) aflatoksin sangat berfariasi bergantung pada jenis dan umur ternak, serta pada jenis aflatoksin yang dikonsumsi. Batas maksimum kandungan aflatoksin yang diperbolehkan menurut FDA (Food and Drug Administration) di Amerika Serikat yakni 20ppb untuk pakan ternak dan 15 ppb untuk bahan pangan konsumsi manusia, sedangkan diaustralia 15 ppb untuk bahan dari kacang tanah dan 5 ppb untuk bahan yang bukan dari kacang tanah. Untuk menangani masalah kekurangan kalori dan protein didaerah miskin, FAO/ WHO mengizinkan sampai batas maksimum 30 ppb bagi bahan yang diberikan sebagai bahan makan campuran (Winarnao, 1984).
Pemerintah Indonesia mengeluarkan batasan kadar afaltoksin pada pakan dan bahan baku pakan dan nilai maksimum residu limit (MRL) aflatoksin B1 pad daging dan susu sapi disajikan pada tabel 11. Khusus aflatoksin B1 di Indonesia belum memiliki standar maksimumnya, menurut aturan Uni Eropa kadar maksimum aflatoksin untuk pakan unggaas adalah 29 ppb dan jagung sebagai bahan baku pakan adalah 200 ppb.




Tabel 12. Kadar Maksimum Aflatoksin pada Pakan dan Bahan Baku Pakan Serta MRL Aflatoksin B1 pada Produk Ternak
Peruntukan
Kadar µg/kg
(ppb)
Komoditi
Ayam petelur dan pedaging (starter, grower)
50
Pakan
Ayam petelur dan pedaging (finisher)
60
Pakan
Itik petelur (starter, grower, finisher)
20
Pakan
Puyuh petelur (starter, grower, finisher)
40
Pakan
Ayam pedaging, petelur, dan bibit
200
Bungkil kacang tanah.
Ayam pedaging, petelur, dan bibit
50
Bungkil kacang dan jagung kedelai.
Ayam pedaging, petelur, dan bibit
100
Bungkil kelapa, bungkil biji kapuk.
Manusia
20
Daging
Manusia
1,0
Susu sapi
Sumber : Dewi Utami Dimiyanti , 2010.

      1. Penghilangan Daya Racun
Reaksi aflatoksin terhadap berbagai kondisi fisik dan zat-zat kimia dapat mengurangi dan menghilangkan efek toksiknya (Detoksifikasi) diantaranya :
  1. Panas
Aflatoksin dalam bentuk kristal sangat stabil terhadap pemanasan
hingga mencapai titik lebur. Peningkatan temperatur akan mendestruksi aflatoksin diatas periode tertentu.
  1. Alkali
Pada larutan alkali akan terjadi hidrolisis pada cincin lakton. Hidrolisis ini bersifat repersibel.
  1. Asam
Asam-asam mineral akan mengubah aflatoksin B1 dan G1 menjadi B2A dan G2A karena asam mengkatalisis reaksi adisi pada cincin puran.
  1. Zat-zat Oksidator
Banyak zat-zat oksidator seperti KMnO4, Cl2, H2O2, O3, bereaksi dengan aflatoksin dengan mekanisme yang tidak jelas, namun fluoresensinya berkurang atau hilang.
  1. Reduksi
Reaksi hidrogenisasi terjadi pada ikatan rangkap 2 dan 3. Reduksi aflatoksin B1 dengan 3 molekul H2 menghasilkan tetrahidrodeoksiaplatoksin. Reduksi aflatoksin B1 dan B2 dengan Na-borohidrat menghasilkan RB1 dan RB2. Ini terjadi karena terbentuknya cincin plakton diikuti dengan reduksim pada cincin siklopentenon.
  1. Penyinaran
Penyinaran pada lempeng silica gell dengan sinar UV akan merusak aflatoksin membentuk produk yang kurang toksik.
  1. Membuang butir rusak.
  2. Ekstraksi memakai pelarut tertentu.
Adapun kriteria dalam mendektosifikasi aflatoksin adalah sbb :
  1. Mampu menghancurkan atau meng-inaktivasi mikotoksin.
  2. Tidak menghasilkan atau meninggalkan residu yang bersifat toksin.
  3. Komoditas yang didetoksifikasi tidak mengalami penurunan nilai gizi yang berarti dan dapat diterima.

Hayalku

        Hayalku
Bisu saat ini datang
Ketika hayal berdampingan saling menghampiri
Aku sunyi dalam diri
Hayal berlalu dengan sayap yang indah
Dan suara yang merdu tanpa celah
Aku disini 
Jauh pergi dalam khayal yang indah
Satu tujuan dalam benak tapi 
......
Banyak hal yang ku inginkan